Penggalan Novel Ayah ___ Akan segera terbit
Ini merupakan cuplikan novel keduaku, yang akan segera terbit 😀
Sungai Mas, 1999
Di
sebuah bukit yang curam, seorang laki-laki bersusah payah memikul sekarung padi
di pundak. Dengan susah payah dia
berjalan, karena jalan yang licin setelah didambrat hujan beberapa jam yang
lalu. Bukan hanya sekali, sudah empat kali dia bolak-balik menaiki dan menuruni
bukit tersebut. Dia adalah seorang ayah muda yang sedang mengangkut padi ladang
hasil panen milik seorang warga. Saat itu dia kerja serabutan untuk menghidupi
keluarganya.
Sekitar
dua kilo meter lagi akan tiba ke perkampungan, tiba-tiba terdengar suara
letusan senjata api bertubi-tubi. Dia segera berhenti dan menurunkan beban di
pundak. Karena letusan senjata tidak terlalu jauh darinya. Dia cepat-cepat
bersembunyi di balik pokok kayu yang besar. Karena takut kalau-kalau ditemukan
oleh tentara, bisa-bisa dia dianggap kombatan GAM. Kalau ditemukan orang GAM,
bisa saja dia dianggap cuak.[1]
Matanya
memperhatikan langit, terlihat di daerah perkampungan ada segumpal asap membumbung tinggi. Seperti
ada pembakaran rumah. Seperti kejadian beberapa minggu lalu. Dua rumah milik
orang tua Zainudin dan mertuanya, habis dilalap si jago merah. Seperti banyak
orang ketahui bahwa Zainudin merupakan pembesar GAM di kawasan Meulaboh. Kedua
rumah itu dibakar oleh para tentara yang datang satu truk besar dari kota. Lalu
pergi lagi tanpa merasa bersalah, karena ada dua pasangan renta yang tidak tahu
harus berteduh kemana.
Setelah
dua hari itu, giliran orang GAM yang bereaksi. Mereka membakar kantor camat
hingga bersisa arang dan tembok semen yang tidak mampu dilalap api. Dia kadang
berpikir. Tentara dan GAM maunya apasih? Apa gunanya bakar-bakar rumah dan
kantor seperti itu?
Pikirannya
semakin tidak menentu. Dia takut sesuatu yang buruk terjadi pada keluarganya.
Terutama anak istrinya. Meskipun dia tidak memiliki hubungan apapun dengan GAM.
Tidak ada keluarga yang bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka. Meskipun
sahabat-sahabatnya semuanya sudah berlari ke hutan untuk angkat senjata.
Meninggalkan orang tua dan anak di kampung.
Tidak
lama kemudian, terdengar derap langkah seperti orang setengah berlari. Dia
tidak berkutik, wajahnya pucat pasi. Takut ada yang melihatnya. Rupanya, sekelompok
orang itu, langsung berlari entah menuju kemana. Dia hanya sempat melihat
punggung mereka menghilang saat menaiki puncak bukit dengan susah payah. Dari
pakaiannya, sudah dapat ditebak mereka orang GAM.
Setelah
berjam-jam duduk di belakang pokok kayu. Matahari sudah tenggelam hampir
sempurna. Baru dia memberanikan diri keluar melanjutkan pulang ke rumah dengan
memilih jalan lain. Meskipun harus menerobos semak belukar. Bagaimanapun dia
harus menyiapkan pekerjaannya agar bisa mengumpulkan uang untuk membeli seragam
merah putih anaknya.
Dialah
Ayahku, Kamarud Zaman. Lebih di kenal dengan panggilan si Man. Di tengah gejolak konflik, Ayahku masih sibuk-sibuknya
memikirkan soal seragam sekolahku. Hampir berminggu-minggu, ayahku mengangkut
padi warga yang baru panen di ladang. Lokasi ladang hampir delapan kilo dari
desa Kajeung. Saat itu, masih marak melakukan ladang berpindah.
“Bang,
dari mana? Tidak kenapa-kenapa ‘kan?” tanya ibu dengan raut cemas. Melihat
suaminya yang muncul lewat pintu belakang. Wajahnya berantakan, kakinya berdarah.
“Dari
ladang Cek Din. Enggak apa-apa kok, tadi pulang
menerobos tamah muda [2]di
ujung bukit agar tidak bertemu siapa-siapa,” jelasnya.
“Apa
yang terjadi?” tambah ayah lagi.
“Kantor
polisi di bakar!”
“Sekarang
tentara sudah penuh berjaga-jaga di setiap jalan masuk!’ jelas ibu masih dengan
wajah panik.
Ayah
bergegas membersihkan diri, karena jika ada yang melihat penampilannya saat
itu. Akan dicurigai macam-macam.
***
Di
pertengahan tahun 1999, gejolak konflik tidak lagi begitu panas. Ayah
mendaftarkanku di sekolah dasar. Seperti orang tua pada kebiasaannya. Meskipun
kemiskinan memeluk erat kehidupan mereka. Para orang tua selalu berharap
anak-anaknya kelak, memiliki nasip kehidupan lebih baik dari mereka. Ayahku
termasuk orang yang berpikir bahwa kemiskinan yang dirasakannya, dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan yang ditempuhnya. Andai saja dia sempat mengecap
pendidikan sampai SPG, minimalnya dia
sudah menjadi guru. Barangkali, hidupnya tidak semelarat saat ini. Begitulah
pikir ayahku. Bukan tidak bersyukur, tapi persoal ekonomi terasa begitu jauh
untuk digapai dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
Saat
aku tumbuh, dia bersemangat untuk memberikanku pendidikan. Menyiapkan segala
keperluan, agar putri sulungnya nanti menjadi anak yang baik dan pintar.
Beragam potret kegigihan ayah dalam menyekolahku hingga sarjana. Ingin kuberitahu
semua orang. Bahwa aku hari ini, adalah apa yang ayahku bentuk dengan doa dan
jeri payah bercucur keringat.
Di
desa yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan, tidak ada toko pakaian yang menjual
perlengkapan sekolah. Hanya ada beberapa kedai kelontong yang menjual kebutuhan
sehari-hari. Untuk kebutuhan tekstil dan
pakaian, orang desa harus ke kota. Kota yang harus ditempuh selama dua jam
perjalanan.
Saat
denting jam tujuh pagi. Kabut masih menyelimuti halaman rumah yang terletak di
kaki gunung seperti rumahku. Ayah sudah siap dengan pakaian paling bagus, yang
dia punya. Aku masih ingat, lelaki kelahiran enam belas tahun setelah Indonesia
merdeka itu. Hanya memiliki satu celana jeans terbaiknya. Dan satu kemeja yang
paling bagus untuk dikenakan ke acara yang dianggapnya penting.
Ya,
turun ke kota termasuk acara penting. Meskipun sampai di sana harus naik becak.
Ah, itu lumayan mewah. Ayahku berangkat ke kota dengan bus yang pergi pagi
pulang petang. Satu-satunya kendaraan yang bisa membawa orang desa melihat
keramaian. Bus Haji Suh, begitulah orang-orang desaku menyebutnya.
Tiga
puluh tahun yang lalu, desaku masih sangat terisolasir. Tujuh puluh kilo meter
dari perkotaan. Tidak ada lintas kendaraan umum setiap jam. Tidak ada juga yang
memiliki kendaraan pribadi. Apalagi, keluargaku yang hanya keluarga biasa-biasa
saja. Sebuah sepedapun kami tak punya.
Dia
berkemas lebih cepat dari pada keberangkatan bus. Setelah menunggu satu jam,
bus Haji Suh pun tiba. Melewati tujuh puluh kilometer perjalanan. Jalan yang
berlubang-lubang di antara bukit kecil. Ayahku duduk berhimpitan dengan
penumpang lain. Ada yang pergi untuk menjual hasil panennya. Segala jenis hasil
panen seperti cabai, minyak atsiri nilam, kacang tanah, kacang hijau dimuat di
atas atap bus. Ada juga yang hendak berbelanja untuk keperluan kedai
kelontongnya.
Sepanjang
perjalanan, ayah duduk termenung menatap ke luar jendela. Melempar pandangan
sejauh mata memandang. Menembus bukit-bukit yang terjal dan rerimbunan hutan.
Barangkali saat itu, dia sedang berpikir bagaimana membelikan dua seragam untuk
putri sulungnya. Baju merah putih dan baju pramuka. Sepatu, tas dan alat tulis.
Uangnya
hanya cukup untuk beli satu seragam. Jika beli dua seragam maka tidak cukup
untuk beli sepatu, tas dan alat tulis. Dia sudah bekerja keras selama beberapa
bulan agar bisa menyisihkan uang untuk biaya masuk sekolah, aku putri
sulungnya.
***
Tepat
jam sepuluh pagi, bus Haji Suh memasuki kota Meulaboh. Banyak penumpang yang
lemas terkulai, ada juga yang menumpahkah isi perutnya di dekat mobil__akibat
mabuk perjalanan. Entah karena jalan yang berkelok-kelok. Entah karena jarang
naik mobil, penyebab para penumpang dari desaku sering mabuk perjalanan. Mereka
semua berjalan gontai menuruni bus yang telah beroperasi beberapa tahun.
Ayahku
berjalan keluar dari area terminal sambil berjalan kaki menuju pasar. Bukan
toko yang berlantai keramik, berdinding kaca tapi pasar induk. Tempat yang
menjual segala keperluan dari bahan dapur hingga pakaian. Gang-gangnya becek,
berlumpur hitam. Kadang-kadang harus
berdesakan dengan para tukang becak, tukang kue keliling dan pengunjung
yang sedang berbelanja.
Ayahku
melangkah menyusuri jalan di bawah matahari yang menyengat. Kakinya hanya
beralas swallo putih. Tidak lagi begitu putih, karena bagian hitam sudah mulai
muncul di bagian tumit. Sandal itu paling lama bertahan sekitar sebulan lagi.
Kata ibu, ayah tidak akan menggantinya sebelum benar-benar putus. Meskipun
bagian putih sudah menghilang total. Kadang-kadang sampai bagian tumitnya
bolong.
Matahari
yang seakan berada di atas ubun-ubun, membuat kemeja basah.Banyak becak dan
ojek lalu lalang di sampingnya. Tapi, dia tidak ingin memanggil para tukang
becak dan tukang ojek. Karena uangnya sangat pas-pasan. Sejak di rumah hanya dipersiapkan
untuk membeli seragam sekolah anaknya, aku putri sulungnya yang bernama Nuzula.
Setelah
menelusuri jalan yang panas hampir satu jam. Ayah tiba di depan pasar yang
khusus menjual aneka pakaian. Ayah singgah dibeberapa kedai. Akhirnya, dia
menemukan satu kedai yang lebih murah dua ribu dari toko-toko lain.
Setelah
tawar menawar selesai. Ayahku hanya bisa membeli sepasang pakaian merah putih.
Sepasang sepatu beserta kaos kaki dan tas. Kemudian tidak lupa buku beserta
alat tulis. Semua barang yang terbeli merupakan barang paling murah di toko
itu.
“Tidak
mengapa yang penting barang baru,” sahut ayahku saat karyawan toko menawar
barang yang sedikit lebih mahal.
Jam
dua belas siang, ayah keluar dari toko
sambil menenteng sebuah plastik kresek hitam. Wajahnya yang datar menjadi lebih
sumringah. Kegembiraan tergambar dari raut wajah, karena lusa akan mengantarkan
anak sulungnya ke sekolah. Meskipun hanya tercapai membeli sepasang baju
seragam. Setidaknya itu baju baru bukan baju bekas.
Rasa
lapar telah membuncah karena matahari telah berada tepat di atas ubun-ubun.
Sesekali ayahku menyeka keringat. Dia harus segera mencari warung untuk mengisi
perut. Saat tiba di depan warung dia merongoh kantong. Ayahku, hanya menemukan
beberapa lembar uang yang hanya cukup buat ongkos untuk pulang nanti. Akhirnya dia berbelok menahan diri tidak makan siang. Meskipun
rasanya sudah menelan ikan goreng yang terlihat sangat menggoda di dalam rak
kaca di warung-warung.
Pria
yang memiliki ketinggian di atas rata-rata itu, kembali berjalan menelusuri
jalan menuju terminal. Cuaca terasa semakin panas. Lamat-lamat azan Zuhur
terdengar memecah hiruk pikuk perkotaan. Ayahku segera menuju masjid terdekat
untuk menunaikan kewajibannya.
Hingga
usianya pun menuju renta. Ubannya telah memenuhi kepala. Ayahku masih memegang
prinsip mudanya. Tidak mengapa tidak makan yang penting masih mengerjakan salat.
Kemiskinan tidak boleh menjadikan kita jauh dari Tuhan. Begitulah ayahku selalu
mengulang-ulangnya pada kami.
***
Matahari
sudah condong penuh ke barat. Bus Haji Suh kembali bergerak pulang. Mengangkut penumpang yang telah berkumpul di
terminal. Ayahku, dengan senyum yang dipaksa dia menyapa penumpang yang
berpapasan.
Sepanjang
perjalanan tujuh puluh kilometer. Ayah hanya terdiam memegang perut, karena
rasa lapar yang melilit ususnya. Sebelah tangan memegang perut. Sebelah tangan
lagi memegang erat plastik berisi baju
merah putih untukku.
“Aku
harus kuat demi anakku, aku pasti kuat,” lirihnya sambil memegang perut
kuat-kuat. Sesekali untuk menghibur diri. Dia membayangkan aku memakai baju
seragam merah putih. Menyandang ransel pink yang baru terbeli.
“Ada
acara apa ke Meulaboh, Man?” tanya seorang wanita paruh paya yang kebetulan
duduk sejajar dengannya.
“Untuk
mencari seragam sekolah anak, Mak Cek[3],”
sahutnya.
“Wah,
sudah besar anaknya, sudah mau masuk sekolah,” tutur perempuan berjilbab hitam
itu.
“Alhamdulillah,
Mak Cek,” sahut ayah sambil
tersenyum.
“Betapa
gagahnya anakku,” ucapnya lagi seorang diri.
Aku
berdecak kagum, air mataku tumpah saat mendengar cerita perjalanan ayahku dari
ibu. Demi aku, anak sulungnya bisa memakai baju merah putih. Ayahku rela
menahan lapar. Yang seharusnya tidak boleh ditangguh. Ayahku, pahlawanku dan
cinta pertamaku.
Meulaboh,
28 Juni 2021
Komentar
Posting Komentar