Part 5 [Misteri Desa Alue Meujen]
Hamidin terus tenar dari satu ke kampung lain sebagai tabib.
Bukan hanya sebagai tabib orang kesurupan, tapi apa saja. Dan seketika itu juga,
Hamidin menjadi ahli nujum. Banyak orang berdatangan untuk bertanya tentang barang
mereka yang hilang, suaminya yang kawin lagi, atau rezekinya yang mepet.
Masyitah sebagai orang yang cukup cerdas dan kritis. Dia semakin
bingung terhadap sikap orang-orang yang berdatangan pada ayahnya. Dia merasa ayahnya
memanfaatkan orang-orang terdesak itu untuk urusan ekonominya. Tidak sekali dua,
dia melihat ayahnya tergelak tawa Daod yang itu. Masyitah yang sedari dulu
tidak suka kepada Daod. Semakin tidak suka, karena hampir setiap jam di rumahnya.
Apalagi mata Daod selalu memperhatikan Masyitah dengan penuh nafsu. Ya, Masyitah
bukan anak gadis yang polos. Dia sudah dewasa, bisa membedakan mana yang tulus mana
yang mencurigakan.
Apalagi, bayang-bayang Daod saat merajahnya tempo dulu. Meskipun
dia setengah sadar. Dia merasakan sesuatu yang sangat menakutkan di luar batas seorang
tabib merajah. Bahkan, untuk memastikan kebenaran itu. Dia pernah berpura-pura tidak
sadar saat di dekati Daod laki-laki yang mukanya seperti drum reyot berkaratan.
Apalagi usianya hampir tiga kali usia Masyitah.
Saat merajah Masyitah, pertama dia memegang kepala, lalu turun
ke dagu. Pelan-pelan ke bahu. Lalu menyusup
ke dada, Masyitah tidak bisa membayangkan kejadian itu. Ayah dan ibunya tega meninggalkannya
dengan Daod di dalam kamar. Membiarkan anak perempuan kesayangannya di elus-elus
oleh lelaki renta. Masyitah selalu frustasi mengingat kejadian itu. Setiap kali
dia menangis, ibu dan ayahnya berpikir kalau dia sedih karena banyak ketinggalan
pelajaran.
Masyitah, terus mewaspadai sikap Daod. Yang kadang-kadang menongol
ke dalam kamarnya. Apalagi lelaki itu sering memantau laki-laki yang dekat dengannya.
Masyitah merasa jijik, terhadap laki-laki yang lebih tepat dia panggil kakek olehnya.
**
Malam itu, Masyitah memasang sebuah kamera tersembunyi di kamar
tempat ayahnya merajah. Setelah semua orang pulang, Daod dan ayahnya mulai menghitung
uang. Mereka tertawa berbahak-bahak. Masyitah
mendengar dari ruang tengah. Saat subuh, dia mengambil kamera tersebut. Lalu melihatnya
saat di sekolah.
Masyitah menontonnya dengan Fira kawannya. Dia membekap mulut,
saat mendengar pembicaraan mereka tentang ilmu hitam dan Persugihan. Dia tidak percaya
kalau ayahnya telah menduakan Tuhan. Dia menangis tersedu-sedu. Fira menenangkan
temannya.
“Syita, aku akan minta tolong pada abahku untuk masalamu, ya?”
tawar Fira.
Masyitah hanya mengangguk. Dia ingin sekali menyadarkan Ayahnya
yang sudah tersesat itu.
Di depan Abah Fira, lebih tepatnya pembuka agama di kecamatan
tersebut. Masyitah tergugu menceritakan kelakuan ayahnya selama ini.
“Innalilahi wa innailaihi Raji’un,” ucap Tengku Hamid.
“Teungku, bantu saya untuk mengembalikan ayahku ke jalan yang
lurus,” pinta Masyitah semakin tergugu.
“Insya Allah kita akan membasmikan kesyirikan,” sahut Teungku
Hamid.
**
Tiga puluh tahun yang lalu, saat Desa Alue Meujen belum terbentuk.
Masih merupakan dusun dari desa Geudong. Saat itu, kepercayaan kepada mistis sangat
kental. Masyarakat masih banyak yang menyembah syaitan. Ilmu-ilmu hitam meraja lela.
Datanglah seorang lelaki dari Labuhan Haji, Aceh Selatan. Seorang
Teungku muda yang sangat alim. Dia mulai berdakwah di dusun tersebut. Mengajari
masyarakat mengaji dan salat. Masyarakat berbondong-bondong mengikutinya. Pada dasarnya,
masyarakat memang sudah Islam tapi kelakuan memuja syaitan masih terus dilakukan.
Kehadiran Teungku tersebut menjadi perubahan yang cukup signifikan dalam masyarakat.
Teungku muda itu, tidak hanya alim ilmu agama. Tapi, dia juga
kebal dan ahli bela diri. Karena para dukun-dukun marah kepadanya. Mereka ingin bertarung
melawan Teungku tersebut. Dalam pertarungan itu, Teungku muda itu menang. Para dukun-dukun
pemuja syaitan itu mati dan ada yang melarikan diri.
Kematian para dukun-dukun di dusun tersebut membuat Teungku muda
itu cukup tersohor. Laki-laki muda itupun akhirnya, membangun dusun itu menjadi
kampung. Dia memberi nama Kampung Alue Meujen. Untuk mengingat bagaimana desa itu
yang kerap di kuasai oleh para pemuka iblis.
Masyitah, Fira dan Sabari kerap tertegun mendengar cerita Teungku
Hamid.
“Sudah lama, saya tahu Daod masih melakukan perbuatan Jahiliah
itu. Tapi, kita belum bisa mengepungnya karena dia tidak menggangu orang lain. Dan
kini, kita tahu dia sudah memercikkan api. Lalu berpura-pura memadamkannya. Sakit
kesurupan yang terjadi belakangan ini adalah ulahnya. Sayangnya, para orang tua
percaya kalau itu adalah ulah penjaga desa Alue Meujen.” Teungku Hamid memeremas
tangannya.
“Teungku, apa yang harus kita lakukan?”tanya Sabari sebagai muridnya.
“Besok kita atur, Masyitah pulang dulu ke rumah. Jangan tunjukkan
reaksi apa-apa pada mereka!”
Komentar
Posting Komentar