Part 3 [Misteri Desa Alue Meujen]


Masyitah tidak pernah kesurupan lagi. Dia pulih berangsur-angsur, membuat Umi dan Hamidin lega. Anak mereka kembali bisa ke sekolah dan ke tempat pengajian. Namun, hidup Hamidin semakin aneh. Setiap malam dia bermimpi macam-macam. Membuat dia gelisah, dan segera menanyakan ke Daod.

Daod tersenyum menepuk pundaknya.

“Itulah gurumu, ambil ilmu darinya niscaya kamu akan menjadi orang pintar,” jelas Daod.

“Apa yang harus saya lakukan, Cek?” sahut Hamidin bergetar.

“Apakah kamu ingin anakmu sekolah tinggi? Dimudahkan urusan?” Tanya Daod lagi.

“Tentu, tentu, Cek.” Hamidin membayangkan wajah Masyitah yang cantik dan pintar.

“Maka ambilah ilmu dari guru yang menghampirimu lewat mimpi itu?” tambah  Daod.

“Bagaimana saya mengambilnya?” tanya Daod penasaran.

“Kamu harus bertemu dengannya lagi tepat tengah malam Jum’at Kliwon di rimba dekat Alue Meujen,” ujar Daod. “ Kamu harus melakukannya, jika tidak dia akan menggangu hidupmu!” tambah Daod.

Hamidin menautkan alisnya. Dia merinding ketakutan.  Mengingat wajah-wajah yang dilihat saat di bawah pohon kemarin.

**

Malam hari, Hamidin terus memikirkan pembicaraannya dengan Daod. Dia tahu untuk masuk perguruan tinggi sekarang butuh orang dalam. Untuk mendapatkan kerja yang gaji besar butuh orang dalam. Sedangkan dia tidak punya siapa-siapa yang bisa diminta bantuan. Barangkali, iblis itu bisa menolongnya, pikir Hamidin.

Kejadian kesurupan terus berulang-ulang pada gadis lain. Sedangkan Masyitah tetap sehat bugar, tanpa terkontaminasi lagi dengan keserupan itu. Keadaannya gadis-gadis itu macam. Ada yang menangis sepanjang malam, ada yang menjerit-jerit, ada yang memukul-mukul diri. Beberapa orang tua mendatangi Hamidin. Menanyakan kenapa Masyitah bisa sembuh? Hamidin tidak mau jujur. Jika dia menjumpai iblisnya. Tentu hal yang memalukan.

“Saya merajah sendiri,” ujar Hamidin tergagap-gagap.

Orang-orang desanya terkejut mendengarnya kalau Hamidin bisa merajah. Dia mulai kasihan dengan para orang tua anak yang gadis yang kesurupan itu.

“Kamu di desak untuk membantu orang kampung, Ham,” ujar Daod.

“Apa yang harus saya lakukan?” tanya Hamidin.

“Kamu harus segera berjumpa dengan penjaga Alue Meujen yang muncul di mimpimu.”

“Kapan jumat Kliwon?” tanya Hamidin.

“Minggu depan,” Daod merapatkan tubuhnya ke Hamidin.” Kamu harus melakukan beberapa syarat terlebih dahulu.”

“syarat? Syarat apa lagi?” tambah Hamidin penasaran.

“Kamu harus makan daging ayam kampung berturut sebelum berangkat menuju gurumu. Kamu juga tidak boleh mendatangi masjid dan mengerjakan salat.”

Sebenarnya, pantangan itu cukup berakibat fatal untuk keimanannya sebagai seorang muslim. Tapi, dia sudah melakukan sekali. Tak salah menurutnya melakukan sekali lagi. Lagipun tidak ada yang tahu, selain Daod dan Umi istrinya.

Jumat Kliwon tinggal delapan hari lagi. Berarti selama delapan hari Hamidin harus memotong ayam kampung di rumahnya. Kata Daod, hanya bagian pantat dan kepala yang boleh dimakan Hamidin. Selebihnya, harus dibuang tidak boleh dimakan oleh anak istrinya. Cara masaknya juga harus direbus tanpa garam. Hamidin memaksa diri untuk memakan ayam rebus yang rasanya sangat hambar dan bau amis.

Selain itu, Hamidin membuat alasan tidak ikut salat Jumat ke masjid. Jika ada yang bertanya, dia mengatakan kurang enak badan. Sebenarnya, dia sangat meresahkan. Karena Hamidin terkenal orang yang jujur.

Malam Jumat Kliwon pun tiba. Daod kembali mengingatkam Hamidin tentang rencana mereka. Di saat semuanya tidur Hamidin berangkat seorang diri menuju tempat yang di maksud. Di bawah cahaya rembulan yang temaram. Dia berjalan dengan napas memburu. Hamidin takut jika ada yang melihatnya. Beberapa langkah menuju tempat itu. Hamidin berhenti, dia ragu-ragu untuk melanjutkan.

Apa sebaiknya aku pulang saja? Pikir Hamidin.

Tiba-tiba Daod muncul di belakang menepuk pundaknya. Dan mereka kembali mengangkat langkah.

“Buka pakaianmu!” perintah Daod.

Hamidin menanggalkan pakaiannya. Lalu pergi ke bawah pohon yang di maksud.  Mereka duduk sambil memejamkan mata. Pakaian Hamidin bergetar, karena sosok makluk halus mulai memperdengarkan suaranya.

Sampai menunggu aba-aba, iblis itu pun bersuara. Hamidin membuka mata. Di sana muncul makluk paling jelek di dunia ini. Bahkan paling menyeramkan. Dia mulai tertawa dengan terbahak-bahak. Lalu memberikan Hamidin pegangan untuk kekebalan tubuhnya.

 

 

 

Komentar

Postingan Populer