Part 2 [Misteri Desa Alue Meujen]

 

Menjelang magrib, Hamidin berjalan seorang diri di bawah rintik-rintik hujan.Di dalam eumpang dia membawa beberapa nasi bungkus pakai daun dengan lauk khusus, udang asam pedas. Dan mengapit seekor anak ayam berwarna putih.

Hamidin  melewati semak-semak belukar menuju satu anak sungai yang berada di ujung kampung. Seperti yang diarahkan Daod. Bahwa untuk menyembuhkan Masyitah, Hamidin harus merayu para penjaga kampung yang berada di anak Sungai Alue Meujen. Sebuah anak sungai yang dipercaya masyarakat dihuni oleh makhluk halus.

Sejak dulu anak sungai yang dinamai Alue Meujeun itu terkenal dengan kejadian-kejadian aneh dan mengerikan. Daod mengatakan penyakit Masyitah sudah sangat parah. Tidak ada jalan keluar lain, selain merayu penghuni Alue Meujen itu, agar mereka mau pergi dalam tubuh Masyitah.

Sambil menggigit geraham, melawan rasa takut kepada Tuhan. Hamidin meninggal salatnya selama dua hari. Karena, kata Daod salah satu syaratnya tidak boleh salat sama sekali sebelum membawa sesajian untuk penghuni Alue Meujen. Hamidin tidak bisa lagi berpikir jernih. Anak sulungnya sudah empat hari, paling lama sadar hanya  lima menit, lalu kerasukan lagi. Pagi petang dia menjerit-jerit bagai anjing gila.  Badannya kurus dan acak-acakan. Kalau dia sadar, Masyitah menangis tersedu-sedu.

Hamidin dan Umi tidak tahan melihat keadaan anak gadisnya yang jelita itu. Seharusnya dia pergi ke sekolah dengan rajin, untuk mengikuti seleksi SMPTN nanti. Mereka ingin menyekolahkan Masyitah hingga menjadi orang pintar.

“Bang, lakukan sesuatu untuk anak kita!” pinta Umi.

“Aku takut, Mi. Yang dikatakan Cek Daod itu syirik,” sahut Hamidin.

“Lalu bagaimana nasip anak kita?” kilah Umi. “ Lihat anak kita seperti ini rasanya aku tak tahan, Bang. Kalau tidak, biar aku saja yang pergi!” Umi berdiri hendak berangkat ke tempat yang dikatakan Daod.

“Jangan, Mi. Tempat itu berbahaya, biar Abang saja yang pergi!” cegah Hamidin sambil menarik tangan istrinya.

“Pergi segera, Bang. Anak kita semakin tersiksa dengan keadaan seperti ini!” Mereka memperhatikan Masyitah yang meraung-raung, karena kedua tangan dan kakinya di ikat.

Hamidin menarik napas, lalu membuangnya dengan kasar. Sambil berucap dalam,  semoga engkau tidak melaknatku, Tuhan. Mulai hari itu dia meninggalkankan salat dan tidak mandi. Karena itu syaratnya. Hamidin meskipun lelaki biasa selama ini dia tidak pernah meninggalkan salat. Tapi, demi anaknya diapun mengikuti langkah syaitan. Selama dua hari Hamidin mempersiapkan semuanya. Dari nasi bungkus pakai daun berlauk udang asam pedas. Dan anak ayam berwarna putih. Semua itu dilakukan secara diam-diam, tidak ada yang tahu selain Daod dan istrinya.

Dengan napas tersengal-sengal, Hamidin menuju pokok kayu yang dimaksud oleh Daod. Pokok kayu besar di pinggir anak sungai. Daudnya merambat membentuk seperti payung. Bahkan, hujan pun di pohon itu bisa bernaung. Sebelum sampai ke bawah pokok kayu besar itu. Ada syarat lain yang harus di lakukan oleh Hamidin. Dia harus bertelanjang, tanpa sehelai pun pakaian.

“Untuk bisa melihatnya dan berbicara dengan mereka, kamu harus bertelanjang, Ham,” ujar Daod padanya, meskipun agak terkejut Hamidin mengangguk pelan tanpa membantah.

Tiga meter menuju pokok kayu itu, Hamidin melepaskan semua pakaiannya. Sebelum pakaiannya terlepas sempurna, Hamidin tidak melihat apa-apa di sana selain beberapa batu seukuran goni di sana. Setelah badannya telanjang, buku romannya bangkit. Batinnya terkejut, dia melihat beberapa makhluk cukup mengerikan di sana. Nyaris dia membalikkan badan  dan lari terbirit-birit. karena tidak sanggup melihat makhluk-makhluk tersebut. Mereka tertawa terbahak-bahak melihatnya.

Sampai di bawah di tengah jalan. Dia hampir menabrak Daod.  Belum hilang terkejut melihat iblis di bawah pohon besar itu. Dia sudah dikejutkan oleh Daod yang berdiri di depannya tanpa sehelaioun baju.

“Kenapa kamu berlari?” Daod berbicara sambil menyeringai.

“A-aku ta-takut, Cek.” Daod berbicara tergagap-gagap.

“Ingat anakmu di rumah, Ham. Dia semakin histeris saat aku ke sini!” bujuk Daod lagi.

Hamidin memejamkan mata. Dia benar-benar serba salah.

“Ta-tapi makhluk itu sangat mengerikan, Cek!” kilah Hamidin lagi.

“Tidak mengapa, segera ke sana. Aku akan mematau dari jalan,” sahut Daod.

“Kalau tidak Cek saja yang ke sana!” bujuk Hamidin.

“Itu anakmu, bukan anakku. Kamunyang harus melakukan sendiri, Ham.”

Hening, Hamidin memejamkan mata. Sekelebat bayangan Masyitah mengajaknya berkompromi.

“Ayah, syitah akan sekolah tinggi-tinggi agar bisa buat ayah bangga,” ujar Masyitah pada suatu hari. Hamidin sejak saat itu berusaha keras mencari uang agar nanti bisa menyekolahkan anaknya hingga sarjana.

Hamidin kembali berjalan ke arah pokok kayu itu dengan gemetar. Dari jauh, Daod berdiri memastikan kalau Hamidin benar-benar duduk di atas batu yang telah ada di sana.

Dengan gemetar Hamidin menyerahkan nasi bungkus dan ayam pada jin di sana. Dia tidak berani mendongak ke atas karena makhluk itu sangat besar dan menyeramkan. Sesuai yang diajarkan Daod, Hamidin mulai berucap.

“Duhai yang mulia aku datang untuk meminta pertolonganmu. Aku datang untuk memujiku. Yang mulia penghuni Alue Meujen sembuhkan anakku dan berilah aku pegangan ilmu agar selamat hari-hariku,” uajr Hamidin pada syaitan itu. Di serahkan segumpal bulu semacam ijuk. Hamidin langsung kabur tanpa berucap apa-apa lagi. Dia berharap dapat menyembuhkan Masyitah sesampainya ke rumah.

Sampai di rumah, dia melihat anaknya sudah sadarkan diri. Akhirnya, dia memuji Daod sebagai gurunya.


Bersambung....

 

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer