Part 1 [ Misteri Desa Alu Meujen]

Suara perempuan berteriak histeris memecahkan keheningan malam. Suaranya melengking bagai anjing yang kelaparan. Sesekali perempuan itu mencakar siapapun yang ada di sampingnya. Masyitah, perempuan tujuh belas tahun itu kembali kerasukan setelah dua berbulan-bulan terlihat baik-baik saja. Orang bilang dia dihinggap jin kebelet kawin. Hanya kawin yang dapat menyembuhkannya. Tapi, Hamidin ayahnya tidak ingin menikahkan anaknya yang masih sekolah itu.  

 Dari jauh Hamidin tergopoh-gopoh berlari menuju rumah salah satu pemuka agama.

“Mau kemana, Ham?” cegah seorang laki-laki tua.

“Saya mau ke rumah Teungku Imum, Cek.” Hamidin menyeka keringatnya, wajahnya panik tidak dapat disembunyikan.

“Apa anakmu sakit lagi?”

“Iya, kali ini lebih menakutkan dari sebelumnya,” Hamidin menyalakan senternya lagi. “ Saya harus segera ke rumah Teungku Imum, Cek!”

“Tunggu!” cegah Daod lagi. “Anakmu tidak akan sembuh jika hanya dirajah oleh Teungku Imum, Ham. Dia tidak kenal dengan penyakit yang diderita anakmu,” ujar laki-laki itu dengan tenang. Sekilas dalam keremangan lampu jalan. Daod terlihat begitu misterius, wajahnya sangar apalagi kumis dan jenggot tumbuh tak terawat di wajahnya.

“Lantas apa yang harus saya lakukan, Cek? Anak saya sekarat, dia tidak bisa diobati medis,” sahut Hamidin masih dengan wajah bergetar.

“Aku akan mengobatinya," sahut Daod sambil melempar pandangan ke arah jalan yang gelap.

“Benarkah? Cek Daod bisa mengobati anak saya?” tanya Hamidin lagi.

“Iya, saya akan berusaha semampu mungkin,” Daod masih menatap kosong ke jalan yang tak pernah dilalui siapapun saat malam hari.

“Kalau begitu mari ke rumah saya, Cek!” ajak Hamidin.

Tanpa menanggapi ajakan Hamidin, Daod misterius itu langsung berjalan ke arah rumah Hamidin.

**

Di rumah yang beton berukuran sederhana. Masyitah masih mengaung-gaung histeris. Mencakar apa saja yang ada disekelilingnya. Bahkan, sempat menggigit tangan ibunya. Membuat semua orang lebih memilih mengurungnya di dalam kamar. Beberapa barang terdengar berjatuhan. Beberapa orang yang sudah di rumah Hamidin mengintip lewat ventilasi udara.

Umi terus menangis melihat putrinya yang cantik jelita harus kembali kerasukan setan. Kadang dia berpikir untuk segera mengawinkan anaknya. Tapi, dia berharap anaknya menjadi orang sukses dengan melanjutkan sekolah hingga sarjana.

Hamidin dan Daod muncul di muka pintu. Daod mengisyaratkan untuk membuka pintu kamar. Masyitah langsung ketakutan melihat Daod bahkan dia berusaha lari. Daod mendekat tanpa berkata apa-apa. Masyitah langsung mengangkat tangan dan jatuh pingsan ke lantai.

Suasana menjadi hening, beberapa orang di sana mulai berbisik terhadap Daod yang mistis itu. Daod mengusap wajah masyitah, bibirnya komat kamit lalu menyiram tubuh masyitah dengan air. Perempuan kelas XII itu tetap tidak sadarkan diri. Umi memanggil anaknya. Tapi, Daod mengisyaratkan agar tidak dibangunkam karena Masyitah hanya tertidur katanya bukan lagi pingsan.

Umi terus membelai putrinya. Berharap hal-hal yang buruk tidak terulang lagi. Hamidin mulai mendekati Daod bertanya gerangan apa yang merasuki putrinya.

“Ini semua karena kita tidak ada lagi melakukan kanduri rabu abeh seperti dulu. Membuat para penjaga desa ini marah!” ujar Daod dengan menegaskan wajahnya yang sangar.

Rabu abeh adalah tradisi masyarakat Aceh di daerah barat selatan di akhir bulan Safar. Sebenarnya itu merujuk pada ajaran Islam dengan berdoa bersama. Memohon dijauhkan bala.

Hening. Tidak ada yang berbicara, mereka menatap satu sama lain. Mereka tahu maksud Daod. Hampir sepuluh tahun, kanduri rabu abeh hanya diadakan di masjid dengan berdoa bersama dan makan bersama.

Bukan seperti dulu, pergi ke pinggir sungai di sana potong ayam lalu masak dan mandi bersama. Yang terakhir mehanyutkan nasi beberapa bungkus ke hulu sungai dalam bentuk perahu kecil. Perahu kecil itu dihias sedemikian rupa. Orang-orang kampung di daerah Sungai Mas itu percaya kalau nasi yang mereka hanyutkan semacam sesajian untuk para penghuni sungai.

Namun, perlahan-lahan manusia semakin cerdas dan modern. Ritual semacam itu dibantah oleh para pemuka agama. Karena menganggap itu sudah menyimpang dari esensi rabu abeh yang sesungguhnya. Sudah melibatkan iblis di sana. Semakin ramai santri dan orang terpelajar di desa tersebut. Akhirnya, mereka sepakat kalau kanduri rabu abeh akan dilaksanakan di masjid atau meunasah. Tidak ada yang menentang. Bahkan, generasi yang tumbuh dalam jangka sepuluh tahun itu tidak mengenali tradisi rabu abeh di pinggir sungai.

Dua hari setelah kejadian kerasukan Masyitah. Beberapa perempuan muda juga kembali kerasukan dengan sangat histeris. Membuat para orang tua bertanya. Apalagi, Daod selalu mengulang pernyataan yang sama, “ Penjaga desa ini marah karena tidak ada lagi kanduri abeh untuknya.

The next..


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer