Cuplikan Novel Di Balik Senyum Alisya

 

Di dalam rumah berbeton megah terdengar suara jeritan pilu yang menyayat hati. Juga teriakan penuh amarah dan sumpah serapah. Nursi menumpahkan segala kekesalannya pada Alisya putri pertamanya. Sudah hampir setengah jam, tangannya sudah terasa pegal. Tapi, dia terus memukul Alisya dengan heels mahalnya. Atau dengan benda apa saja yang ada didekatnya.

“Dasar anak sialan, aneuk haram jadah[1]! Kenapa kau harus ada, kenapa kau tidak mati saja waktu dalam kandungan!” teriak Nursi dengan suara melengking.

“A-ampun, Bu,” isak Alisya sambil berusaha bangkit. Tapi, lagi-lagi dia mendorong Alisya dengan kaki. Hingga tubuh kurus itu kembali terpelanting ke lantai. Ditarik-tarik rambutnya, kadang di tending-tendang sekuat tenaga, membuat Alisya terseok-terseok di lantai.

Beberapa saat Nursi terdiam. Dia memutar otak untuk membuat anaknya lebih jera. Alisya yang sudah kondisinya acak-acakan. Rambutnya terurai, baju sekolahnya sudah berantakan. Alisya diseret dengan paksa ke kamar mandi.  Saat tiba di muka pintu, diangkat tubuh putrinya lalu lempar ke bak mandi  tanpa belas kasihan.

“B-bu to-tolong A-ali sya,” ucap Alisya tergagap karena kedinginan.

“Rasakan ini, maka jangan suka melanggar peraturanku,” pekik Nursi sambil mengunci pintu.

Alisya berusaha naik ke atas permukaan bak. Meskipun hanya setengah badan dia merasakan dingin yang sangat menyiksa. Dengan susah payah dia naik ke atas lalu menarik-narik pintu yang sudah terkunci. Akhirnya, dengan putus asa dia duduk di lantai kamar mandi sambil memeluk lutut. Tubuh kecilnya bergetar, dia terus menangis dengan pilu. Dia bingung kenapa ibu selalu memukulnya. Kenapa ibu begitu benci padanya.

Lama dia terpekur memeluk lutut sambil berderai air mata. Badannya terasa sakit. Pada beberapa bagian memang sudah terlihat membiru. Dia berharap ibunya segera membuka pintu. Tapi sudah berjam-jam tidak ada tanda-tanda ibunya mendekati pintu kamar mandi. Alisya memegang perut rasa lapar juga sudah melilit ususnya. Dia kembali menangis dengan isak yang pilu.Disenderkan kepala pada dinding. Dia berharap segera terlelap, agar perutnya tidak terlalu sakit menahan lapar. Beberapa saat kemudian gadis kurus itupun tertidur.

Setelah mengurung anaknya di kamar mandi. Nursi tertidur pulas di kamarnya. Dia kelelahan, memberi setelah memberi pelajaran fisik untuk Alisya. Menyiksa Alisya sangat menguras energi perempuan berkepala tiga ini. Dia sangat marah saat mengetahui Alisya bermain-main saat pulang sekolah di tempat orang menjual tiram. Apalagi, salah satu penjual tiram itu mengejeknya di sebuah pesta yang di gelar di Desa Tepi Indah. Padahal saat itu, dia tamu terhormat di sana. ka Nursi tidak pernah terima namanya direndahkan oleh orang lain. Apalagi dia  dihina oleh sekaliber penjual tiram. Perempuan-perempuan kampung yang jauh berbanding terbalik dengannya sebagai perempuan karir yang mapan. Bahkan cukup terkenal di Kota Banda Aceh sebagai pengusaha sukses.

“Alah Bu Nur ini, satu anaknya aja nggak becur ngurusnya. Sudah kelas empat belum bisa membaca. Untungnya lagi sekolah di sini makanya naik kelas,” sindir Hartinah salah satu penjual tiram yang dikenal Nursi di desa Tepi Indah.

“Ini semua gara-gara Alisya. Anak itu memang selalu membuatku malu,” Nursi mengeram sambil meremas-remas jemarinya. Sesaat kemudian, dia langsung pulang ke rumah. Mendapati Alisya sedang membuka sepatu sekolah di teras. Segera di tariknya ke dalam rumah. Di dalam rumah, amarah tumpah diiringi dengan ragam pukulan.

Bukan hanya hari itu, bahkan hampir setiap hari. Alisya selalu dihujani pukulan dan hinaan. Tubuh Alisya memilki banyak bekas hasil amukan amarah ibunya.Tidak ada siapa yang bisa menolong anak itu saat ibunya marah. Karena rumah besar itu dikelilingi oleh pagar yang gagah. Di dalam rumah mewah itu hanya tinggal Nursi, Hasmiadi, Alisya dan Melvia. Di rumah orang tuanya Alisya hidup bagai dalam neraka.

**

Tepat di hari kamis. Sekelompok ibu-ibu mendatangi sekolah tepi indah. Mereka riuh bersahut-sahutan. Sekitar tiga puluh orang perempuan gagah penjual tiram itu memasuki pagar sekolah. Seorang yang paling gagah memegang toa. Sambil menjerit-jerit. Mereka menyuarakan hak-hak mereka.

“Tolong ibu kepala sekolah, tolong berlaku adil pada anak-anak kami. Tolong ibu jangan bersikap pilih kasih diantara anak-anak kami, Anda jangan menjadi zalim kepada anak-anak pesisir ini,” ujar perempuan yang memegang toa.

“Anak pak keuchik belum bisa membaca kenapa naik kelas, Bu?” teriak seorang perempuan dari arah paling belakang.

“Itu anak pengusaha juga belum bisa membaca kenapa naik kelas?” teriak lagi yang lain.

“Kepala sekolah nggak adil! Pilih kasih! Padahal ini sekolah pemerintah.” Teriak lagi yang lain.

Sehingga keadaan begitu panas. Semua guru yang hadir ciut mereka tidak berani keluar satupun. Demikian juga dengan kepala sekolah. Dia segera menghubungi kepala desa untuk menghentikan warganya yang dianggap kurang hajar telah memprotes keputusannya.

Hampir dua jam ibu-ibu pedagang tiram itu berdemo di depan sekolah. Mereka berorasi dengan penuh amarah. Sesekali mereka mengancam jika bu Sri tidak keluar. Maka mereka akan melempar jendela dengan batu. Beberapa ibu-ibu membakar ban mobil di depan sekolah. Siswa yang sejak pertama telah kocar-kacir keluar dari kelas melihat sebagian orang tua mereka berkumpul di depan sekolah. Anak SD tersebut berpikir mereka sedang mengadakan semacam acara pementasan drama.

Setelah hampir dua jam, Samsul dan beberapa aparat desa lainnya segera turun ke sekolah. Mereka datang sambil marah-marah atas tindakan ibu-ibu tersebut. Mereka memaksa untuk bubar. Dan mencoba memberi penjelasan. Kalau Bu Sri telah melakukan banyak hal untuk desa Tepi Indah. Khususnya SD Tepi Indah. Jadi tidak sepantasnya masyarakat menyudutkannya.

“Ibu-ibu kalau Bu Sri pindah adakah manusia yang mau menetap di desa kita bertahun-tahun hanya untuk masa depan anak-anak kita. Ada yang mau mengurus segala macam bea siswa untuk anak-anak kita. Bu Sri adalah pahlawan kita. Sudah sepatutnya kita menghargai kebijakannya,” pekik Samsul di depan ibu-ibu tersebut.Akhirnya mereka pun bubar dengan penuh rasa kecewa.

Bu Sri merasa lega setelah mereka bubar. Di depan Samsul dan aparat desa dia mengancam. Jika kejadian seperti ini terulang lagi. Dia akan segera mengurus pindah. Dan berhenti dari kepala sekolah.

“Tolong, Bu. Jangan tinggalkan sekolah ini, kami sangat membutuhkan ibu. Saya selaku kepala desa akan menjamin nama baik dan keselamatan ibu,” pinta Samsul untuk meyakinkan.

Sri Malayati tersenyum  sinis. Dalam hati dia bersorak sorai. Dia kembali menang mengelabui aparatur desa tersebut.

***

Melalui telepon selular bu Sri menghubungi Nursina. Sekadar berbasa-basi untuk menceritakan kejadian demonstran di sekolahnya itu.

Assalamualaikum. Apa kabar, Dek Nur?”

“Baik Kak, Kakak apa kabar? Tumben telpon ada apakah?”

“Gini lho Dik, kemarin ada penjual tiram datang ke sekolah mendemo Kakak. Mereka tidak terima anaknya tidak naik kelas.”

“Lho, kok bisa gitu Kak?”

“Ini semua berawal dari mereka mendengar cerita Alisya. Alisya selalu singgah di tempat pedagang tiram itu saat pulang sekolah. Dan banyak bercerita kalau dia tidak bisa membaca. Dan ibunya dekat dengan kepala sekolah, jadi Alisya tetap naik kelas. Walaupun Alisya tidak bisa membaca.”

“Kemarin saya juga diejek mereka, waktu di pesta rumah Toke Johar kemarin, Kak. Saya sangat menyesali kecerobohan Alisya sampai orang luar tahu kalau dia tidak bisa membaca.”

“Sudahlah, Dek. Maklum saja orang kampong,”

“Maafkan saya yang lalai menjaga Alisya. Sampai membuat keadaan rusuh begitu”

Nggak apa, Dek Nur, namanya juga anak-anak. Cuma Kakak nggak enak saja sama guru-guru yang dianggap miring oleh para pedagang tiram itu.”

“Kak Sri, ini sangat memalukan sekali. Jadinya saya nggak enak sama Kakak.”

“Santai aja, Dik. Kakak biasa aja, jangan dimarahin Alisya ya. Cukup diingatkan agar dia tidak berbur lagi dengan para pedagang tiram itu.”

“Baik Kak. Kakak kalau ada waktu minggu ini kami ada acara di hotel. Kakak datang yah saya jemput?”

“Wah boleh banget, Dek Nur.”

“Baiklah Kak, nanti hari minggu saya jemput. Sudah dulu ya Kak. Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam.”

Perempuan yang memiliki keturunan blasteran ini. Memang selalu gampangan soal materi dan kepuasan lainnya.  Bagi orang yang paham karakternya sangat mudah memanfaatkan keberadaannya. Apalagi kalau sudah diulurkan langsung hadiah secara tunai. Apapun akan dia lakukan untuk menyenangi rekan bisnisnya. Ya, rekan bisnisnya adalah orang tua siswa, yang bisa dimanfaatkan.

Nursi adalah adik kelasnya dulu di kampus. Nursi cukup tahu, bagaimana karakter kepala sekolah anaknya ini. Sosok Sri Malahayati dikenal rakus dan licik. Sangat mudah untuk dimanfaatkan Nursi untuk menjaga reputasinya.

 Pemilik hotel ternama ini akan melakukan apa saja, agar anaknya yang belum bisa membaca itu naik kelas. Lucunya, perempuan yang telah melahirkan Alisya itu. selalu menunjukkan pada semua orang betapa dia menyayangi putrinya itu.Tidak ada satupun yang tahu bahwa dia tidak pernah menyayangi anaknya. Apalgi menyiksanya dengan sadis.



[1] Anak haram

Komentar

Postingan Populer