6 [ Misteri Desa Alue Meujen]

 Hari sudah hampir gelap, Masyitah baru sampai ke rumah. Sejak pulang sekolah dia pergi ke rumah Fira. Dia sangat enggan pulang ke rumah. Apalagi harus menerima tamu yang setiap datang silih berganti. Dalam perjalanan pulang, dia mendongkol sendiri.

  Kenapa sih, orang-orang itu bego banget? Percaya aja kalau ayah benar-benar mengobati anaknya?

Sayup-sayup azan magrib terdengar nyaring. Masyitah menutup pintu. Sambil menyuruh orang-orang yang mengantri untuk dirajah.

“Kalian semua nggak salat? Makanya kalian di datangi syaitan,” pekik Masyitah dengan lantang.

Semua terdiam. Ayahnya dan Daod masih sibuk memijit-mijit kepala sekolah lelaki sambil mengusap air ke muka.

“Ayah! Tidak bisakah kalau saat waktu salat begini ayah salat dulu?” pekik Masyitah sambil melipat tangan di dada.

Daod dan Hamidin terkejut mendengarnya. Sejak kapan Masyitah menjadi begitu kasar. Apalagi berani menegur Ayahnya.

“Sebentar lagi ayah salat, Nak. Bapak ini butuh pertolongan, ayah,” sahut Hamidin dengan lembut.

“Bagaimana bisa ayah menyembuhkan orang jika ayah melupakan Tuhan?” pertanyaan Masyitah membuat Hamidin bangkit dari tempat duduknya.

“Masuk sana ke kamar. Jangan kurang hajar sama ayah, apalagi lagi ramai seperti ini!” sahut Hamidin.

“Ayah yang kurang hajar karena sudah membuat mereka sakit!” Masyitah kembali meninggikan suaranya.

“Apa-apaan kamu ini?” bentak Hamidin.

“Sudah-sudah, ayo kita ke kamar, Nak,” ajak Umi yang menengahkan kegaduhan antara bapak dan anaknya.

Akhirnya, Masyitah ikut ke kamar dengan ibunya.

“Mak, katakan benar kalau ayah sekarang memuja iblis?” tanya Masyitah dengan gemetar.

“Jangan menuduh sembarangan ke Ayahmu. Dia ayahmu yang selalu berusaha memenuhi kebutuhanmu. Dia hanya merajah orang-orang yang membutuhkan pertolongan,” Umi nampak gugup juga marah kepada Masyitah.

“Kenapa tiba-tiba ayah jadi tabib? Kalau bukan karena mengambilnya drai iblis?” tambah Masyitah lagi.

“Diam, kamu mau kita diusir dari kampung in? Jangan nuduh ayahmu sembarangan!” tambah Umi lagi.

Masyitah berpikir tidak ada gunanya berantem dengan ibunya yang juga sudah ikut serta dengan ayahnya.

Dia memilih diam di tempat tanpa mau berdebat lagi.

Hamidin terus merajah orang-orang berdatangan. Dia berharap Umi bisa mengatasi anaknya yang sudah berani meninggikan suaranya dengannya. Dia tidak habis pikir, bagaimana bisa Masyitah yang lembut dan kalem bisa menodong ayahnya langsung pada masalah yang paling besar.

Ketahuan melakukan Persugihan di kampung mereka merupakan hal yang memalukan. Tapi, Hamidin tetap bangga dengan pekerjaannya. Dia merasa menjadi begitu bermanfaat untuk banyak orang. Meskipun penyakit itu memang mereka yang undang.

Pagi hari, saat sarapan pagi. Tiba-tiba, Umi muntah lalu pingsan. Masyitah yang mau berangkat ke sekolah segera memanggil dokter yang menetap di kampung mereka. Dia khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada ibunya.

Hamidin sudah pergi subuh-subuh dengan Daod, ada orang sakit di kampung sebelah. Umi diperiksa dokter. Setelah di infus Umi pun sadar.

“Apa yang terjadi dengan ibu saya, dokter?” tanya Umi.

“Tidak apa-apa. Ibumu hanya kelelahan. Ibumu hamil,” ujar dokter dengan mata berbinar. Dokter muda itu merasa adalah kabar gembira. Masyitah terharu mendengarnya. Setelah belasan tahun. Akhirnya dia aka memiliki adik.

Sepulang dokter, Umi bangun. Masyitah memapah ibunya dengan hati-hati. Dia takut kalau hal-hal yang buruk terjadi pada kandungan ibunya.

“Bu, akhirnya aku akan punya adik!” ujar Masyitah pada ibunya.

“Apa?” Umi terkejut mendengar pernyataan anaknya.

“Iya, Bu. Ibu hamil, hamil adikku!” sahut Masyitah lagi.

Umi terdiam, dia nampak murung.

Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Kalau Hamidin tahu aku akan dibunuh. Apalagi kalau dia tahu ini anaknya.....

Umi terus gelisah. Masyitah merasa aneh dengan sikap ibunya. Bahkan, tidak terlihat raut bahagia sama.

“Ayah kemana? Ayah pasti senang mendengar berita ini,” tambah Masyitah lagi.

“Tidak, ayahmu tidak boleh tahu dulu, Nak.” Umi menenangkan ibunya.

“Kenapa ayah tidak boleh tahu. Apa dia akan menjadi mangsa untuk iblis pujaannya?” tambah Masyitah dengan suara muntab.

“I-iya, Nak. Pokoknya jangan beri tahu ayahmu dulu!” sahut Umi dengan gelisah. Masyitah meremas jarinya. Betapa bejatnya ayahnya sekarang.



Komentar

Postingan Populer